Mau pasang BANNER ? kemari aja....

Senin, 04 Maret 2013

MENEGAKKAN QISAS UNTUK MENJAGA JIWA TINJAUAN TERHADAP SURAT AL-BAQARAH AYAT 178-179


SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
ARTI NYA:
[Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash dalam hal pembunuhan; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.]

TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178
1). Seperti ada yang kontras di sini. Ayat sebelumnya (177) berbicara soal kebajikan yang sempurna (al-birr). Tiba-tiba disusul dengan hukum qishash (pelaku kejahatan diperlakukan setimpal dengan kejahatannya). Tapi kalau direnungkan, ini bukanlah pertentangan. Poin pentingnya ialah bahwa dimana ada reward (penghargaan atas kebaikan) di situ juga harusnya ada punishment (hukuman atas kejahatan). Di mana ada hukum yang baik di situ juga seharusnya ada penegak hukum yang adil. Ayat 117 berbicara tentang kriteria penegak hukum yang adil, yang disebut الأبْرَار (al-abrār), sementara ayat 178 ini berbicara soal hukum yang baik. Karena percuma ada hukum yang baik jikalau penegak hukumnya sendiri tidak adil. Selain itu, Allah hendak menunjukkan bahwa kebajikan yang sempurna tidak akan terwujud manakala masyarakat tidak diatur oleh hukum yang benar. Karena tiap perbuatan baik—sesederhana apapun—selalu membutuhkan ruang sosial yang kondusif. Tak ada perbuatan yang tidak membutuhkan ruang, karena kita memang makhluk bumi. Di dalam Ilmu Hukum dikenal istilah “ubi societas ibi ius” (dimana ada masyarakat di situ ada hukum). Dan hukum tak cukup sebagai kanopi yang melindungi masyarakat dari perilaku anarkisme dan barbarianisme, tapi juga sekaligus sebagai alat untuk memperbaiki masyarakat (law as a tool of social engineering). Maka hukum qishash bermakna mengkondisikan tatanan sosial agar setiap orang terpeluangi untuk melakukan perbuatan baiknya dan terhalangi melakukan niat jahatnya. Sehingga bangunan masyarakat tumbuh dan berkembang menuju kesempurnaan. Dalam konteks inilah hendaknya difahami seruan ini: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى [yā ayyuɦal-ladzĭna āmanŭ kutiba ‘alaykumul-qishāshu fĭl-qatlā, hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian (melaksanakan hukum) qishash dalam hal pembunuhan]. Dan penggunaan kata كُتِبَ (kutiba, diwajibkan) di sini seyogyanya membebaskan pembaca dari perdebetan mengenai wajib tidaknya hukum qishaash, karena kata ini juga digunakan berkenaan dengan Puasa Ramadhan (ayat 183). Allah hendak mengesankan, melalui penggunaan kata كُتِبَ (kutiba, diwajibkan) tersebut, bahwa wajibnya (melaksanakan hukum) qishash sama dengan wajibnya Puasa Ramadhan. Mempertanyakan wajibnya hukum qishash sama dengan mempertanyakan wajibnya Puasa Ramadhan. Menolak pelaksanaan hukum qishash sama dengan menolak pelaksanaan Puasa Ramadhan. Maka adalah sangat aneh kalau seseorang itu rajin melakukan Puasa Ramadhan tetapi ogah memberlakukan hukum qishash. Dan pada keduanya memang ada kesamaan prinsip dan filosofis (yang akan kita bahas nanti pada ayat tentang puasa). Puasa Ramadhan mengajak kita kepada kehidupan spiritual; hukum qishash mengajak kita kepada kehidupan sosial. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” (8:24)

2). Filosofi qishash yang Allah perkenalkan di ayat ini adalah ekuasi, kesamaan, dan kesetaraan perlakuan terhadap seluruh unsur-unsur yang membentuk sebuah bangunan sosial. Artinya, melalui hukum qishash Allah tak hanya bicara soal penegakan hukum yang adil, tapi juga soal susunan masyarakat yang egaliter. Allah hendak meruntuhkan struktur sosial yang dibangun atas dasar feodalisme (kekuasaan politik) dan pavoritisme (kekuasaan ekonomi) seraya memperkenalkan struktur sosial yang dibangun atas dasar iman dan ilmu. Seperti dalam firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (58:11) Sebelum ayat 178 ini turun, seperti dikutip al-Wahidi dan as-Suyuthi di dalam Kitab Asbabun Nuzul-nya masing-masing, apabila terjadi benterok antara dua kelan, maka budak yang terbunuh dari kelan yang lebih besar harus dibalas dengan (menghukum) orang merdeka dari kelan yang lebih kecil; kalau ada wanitanya yang dibunuh maka baru dianggap impas apabila lakil-laki dari kelan pelaku yang dibunuh. Sebaliknya manakala orang merdeka dari kelan yang lebih besar yang membunuh maka cukup menyerahkan budaknya atau wanitanya untuk dihukum. Dapat kita bayangkan betapa buruknya nasib mereka yang kebetulan anggota dari sebuah kelan yang kecil; betapa menyedihkannya masa depan orang-orang yang lemah secara sosial, terutama kaum budak dan perempuan. Maka, melalui hukum qishash, Allah mereformasi sistem sosial yang zalim seperti itu. Hukum qishash ialah: الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنثَى بِالأُنثَى (al-hurru bil-hurri wal-‘abdu bil-‘abdi wal-untsā bil-untsā, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita). Apabila pelaku pembunuhan seorang merdeka—dari manapun asal kelannya—maka yang dihukum (bunuh) adalah pelaku (orang merdeka) tersebut juga, dan tidak boleh digantikan oleh budaknya. Budak yang boleh dihukum (bunuh) hanyalah budak yang bersalah, yang melakukan pembunuhan. Apabila yang membunuh adalah seorang wanita, maka yang harus menerima hukuman adalah pelaku (wanita) tersebut juga. Pendeknya: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Orang yang bersikap bungkam terhadap hukum qishash ini, Allah samakan dengan orang bisu di dalam perumpamaan berikut ini: “Dan Allah membuat perumpamaan: dua orang lelaki.  Yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan (hanya) menjadi beban atas penanggungnya; ke mana saja disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan dan berada di atas jalan yang lurus?” (16:76)

3). Tetapi ada kalanya hukum qishash diganti dengan diyat (ganti rugi). Yaitu apabila pihak wali atau keluarga korban bersedia memaafkan pelaku: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاء إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ [faman ‘ufiya laɦu min akhĭɦi syay-un fattibā’un bil-ma’rŭfi wa adāun ilayɦi bi-ihsānin, maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)]. Di sini kita melihat humanisme al-Qur’an. Perhatikan, saat berbicara soal hukum qishash yang oleh sebagian orang dipandang mengerikan, Allah justru menggunakan kata أَخِيهِ (akhĭɦi, saudaranya) untuk wali atau keluarga korban. Melalui penggunaan kata ini, Allah hendak memberikan kesan psikologis kepada pelaku bahwa yang dia bunuh itu sesungguhnya ialah saudaranya sendiri, bukan orang lain. Sehingga seharusnya melahirkan penyesalan yang sedalam-dalamnya, dan berjanji kepada manusia dan Tuhan untuk tidak mengulanginya lagi. Begitu juga, Allah hendak mengesankan bahwa pihak korban—kendati telah kehilangan anggota keluarga yang dicintainya akibat ulah pelaku—tetap memandang pelaku sebagai saudaranya sendiri. Walaupun terasa sakit, tetapi dia atau mereka siap membuka pintu maafnya. Dan pemaafan ini, oleh Allah, diminta agar benar-benar muncul dari lubuk hati yang paling dalam, dengan cara yang sebaik-baiknya: بِالْمَعْرُوفِ (bil-ma’rŭfi, dengan cara yang makruf atau baik); bukan dengan niat untuk melakukan balas dendam di belakang hari atau dengan maksud-maksud buruk lainnya. Itu sebabnya keadaan ini hedaknya pula diikuti dengan iktikad baik oleh pelaku. Yaitu menyambut “uluran hati” saudaranya ini dengan “uluran tangan” dalam bentuk diyat (ganti rugi), juga dengan cara yang sebaik-baiknya: بِإِحْسَانٍ (bi-ihsānin, dengan cara yang ihsan atau baik). Berapa besar nilai dari diyat (ganti rugi) ini? Tergantung pada beberapa hal. Misalnya, apakah pembunuhan itu disengaja, mirip disengaja atau tidak disengaja; pembunuhan itu terjadi di dalam bulan-bulan Haram atau di luar; korbannya seorang mukmin atau bukan. Variabel-variabel inilah nantinya yang kemudian menjadikan diyat itu berjenis mughallazhah (berat) atau mukhaffafah (ringan). Nilai dan besaran diyat-nya distandarkan kepada unta dengan berbagai macam variannya (betina, jantan, umur, bunting dan tidak bunting). Masalah ini dibahas secara rinci dalam Hukum Jinayat. “Dan hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (5:49-50)

4). Hukum qishash yang diganti dengan diyat adalah bentuk takhfĭf (keringanan) dari Allah dan Rahmat-Nya: ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ (dzālika takhfĭfun min rabbikum wa rahmatun, Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhanmu dan suatu rahmat). Bukankah Allah sendiri menyebut diri-Nya sebagai Yang Maha Pemaaf:  إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ(innallāɦa la-’afuwwun ghafŭr, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun) (22:60 dan 58:2). Apabila pihak korban menempuh jalan ini (memaafkan), berarti mereka mentransformasi sifat-sifat Ilahiah ke dalam dirinya. Semua manusia pasti menghendaki agar Allah memaafkan segala dosa dan salahnya selama ini, tetapi hanya sedikit yang mau memiliki sifat pemaaf tersebut. Masalahnya, mungkinkah Allah memaafkan segala dosa dan salah kita kalau kita sendiri tidak berhasrat memiliki sifat pemaaf tersebut. Dari sisi pelaku, dia atau mereka hendaknya memandang pemaafan dari pihak korban ini sebagai perwujudan pemaafan dari Allah—karena mekanisme hukum diyat ini memang diatur oleh-Nya. Sehingga menerimanya sebagai rahmat yang tak terkira nilainya. Harapannya, pelaku benar-benar kembali bersimpuh di haribaan-Nya dengan melakukan penyesalan yang sedalam-dalamnya, meminta ampun yang sebanyak-banyaknya, berjanji setulus-tulusnya untuk tidak mengulanginya lagi, dan meminta bimbingan-Nya agar selalu berada di Jalan-Nya yang lurus. “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka (segera) ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (3:135)

5). Lalu bagaimana kalau pelaku di suatu hari nanti kembali melakukan perbuatan yang sama? Allah mengultimatum orang yang seperti itu dengan kalimat yang tegas: فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (famani’tadā ba’da dzālika falaɦu ‘adzābun alĭm, barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih). Artinya, manakala mereka kembali membunuh, maka tidak ada lagi diyat baginya. Perbuatan seperti itu sudah “melampaui batas”. Pelakunya telah menabrak batas toleransi tertinggi dari syariat. Kalau dibiarkan, bukan saja mengancam jiwa banyak orang tetapi mengancam tatanan masyarakat secara keseluruhan. Membunuh satu orang saja sudah sama dengan membunuh seluruh manusia. Lalu bagaimana pula kalau perbuatan ini mereka ulangi lagi. Pengulangan suatu perbuatan (buruk) menunjukkan adanya sifat (buruk) yang tidak berubah. Orang seperti ini bukan lagi rahmat bagi kehidupan tapi “ancaman”. Kehadirannya menjadi “teror” bagi lingkungan sekitarnya. Maka terhadap orang seperti itu, hukum qishash harus ditegakkan. Mereka tidak berhak lagi menikmati fasilitas hidup yang Tuhan siapkan di dunia ini. Ibarat tumor di tangan, kalau tak mempan lagi dengan obat-obatan, cara paling terakhir ialah amputasi. “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (2:194)


SURAT AL-BAQARAH Ayat 179

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
ARTINYA :
[Dan bagi kalian dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup, hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa.]




TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH Ayat 179
1). Bagi sebagian (bahkan mungkin kebanyakan) orang, ayat ini terasa aneh. Bagaimana mungkin di dalam hukum qishash (nyawa dibalas nyawa) ada kehidupan? Untuk memahami ayat ini perlu kiranya kita kutipkan kembali penggalan dari ayat sebelumnya: فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ (faman ‘ufiya laɦu min akhĭɦi syay-un, maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya). Dari sini kita melihat bahwa pada hakekatnya hukum qishash bukanlah hak negara atau hak Tuhan, tetapi hak korban yang diwakili oleh wali atau keluarganya. Andaikata tidak ada sama sekali hak pihak korban di dalamnya (untuk memaafkan pelaku) maka itu bisa dipastikan bahwa hukum qishash benar-benar murni hak Tuhan yang dipaksakan kepada manusia. Tetapi faktanya—berdasarkan penggalan ayat ini—otoritas ada sepenuhnya di tangan wali atau keluarga korban. Jadi hukum qishash pada dasarnya hanya menyalurkan hak wali atau keluarga korban melalui negara sebagai satu-satunya institusi penegak hukum yang berkenaan dengan kepentingan publik. Kalau ini tidak dilakukan, kekacauan sosial akan menyeruak, karena pihak keluarga korban sangat mungkin akan melakukan pembalasan menurut caranya sendiri; dan ini bisa menjadi pembunuhan beruntun dan turun-temurun; bahkan bisa menjadi peperangan antar kelompok. Maka sebenarnya untuk menemukan rasionalitas hukum qishash sangat gampang; yaitu tanyakan kepada wali atau keluarga korban apa kira-kira yang akan mereka lakukan terhadap orang yang membunuh sanak-keluarganya. Pada umumnya manusia akan menjawab, mereka akan menuntut balas terhadap pelaku. Sehingga, dengan begitu, benar-benar pada hukum qishash ada kehidupan.“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (17:33)

2). Itu sebabnya ayat ini dimulai dengan kata: وَلَكُمْ (wa lakum, dan bagi kalian). Huruf “و “ (wawu, dan) di awal ayat menunjukkan bahwa kandungan ayat ini masih merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, sehingga bisa dipastikan bahwa kata كُمْ (kum, kalian) di sini adalah kata ganti dari الَّذِينَ آمَنُواْ (al-ladzĭna āmanŭ, orang-orang yang beriman), yang merupakan objek atau komunitas yang dipanggil di permulaan ayat 178. Lalu bagaimana kalau kata كُمْ (kum, kalian) kita perluas kepada seluruh manusia; bukankah seluruh manusia memang membutuhkan kehidupan? Bisa juga, tetapi penerapan hukum qishash dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mungkin dengan serta-merta disetujui oleh mayoritas warga. Perlu diperjuangkan. Konsep dasar dan filosofi hukumnya perlu difahami dan disosialisasikan, sehingga tidak terksan sangar dan menakutkan. Tidak tercitrakan barbarian dan Arabian. Bahwa di dalam hukum qishash ada jaminan akan keberlangsungan حَيَاةٌ (hayātun, kehidupan) yang tenang, damai, dan adil. Dan yang terdepan di dalam memperjuangkannya ialah الَّذِينَ آمَنُواْ (al-ladzĭna āmanŭ, orang-orang yang beriman). Kenapa? Karena asumsi dasarnya, orang-orang yang beriman ialah mereka yang telah menerima dengan “kepala dingin” dan “hati terbuka” bahwa Allah-lah satu-satunya pemilik otoritas hukum di dalam kehidupan ini, termasuk dalam kehidupan antar manusia. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?.... Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) hukum Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (5:50 dan 76:24)

3). Dengan merujuk kepada pembahasan di poin-1, maka dapat dikatakan bahwa panggilan يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ (yā ŭlil-albābi, hai orang-orang yang berakal) merupakan pengulangan maknawi dari يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ (hai orang-orang yang beriman). Kalau toh kita hendak melakukan takhshish (pengkhususan), maka أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal) harus difahami sebagai yang lebih khusus (lebih sempit wilayahnya) daripada orang-orang yang beriman, baik dari sisi bahasa ataupun dari sisi makna. Dari sisi bahasa, panggilan يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ (yā ŭlil-albābi, hai orang-orang yang berakal) terletak di dalam rangkaian kalimat yang dimulai dengan يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ (hai orang-orang yang beriman) sehingga sebutan أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal) tentu hanya terbatas pada الَّذِينَ آمَنُواْ (al-ladzĭna āmanŭ, orang-orang yang beriman) saja. Artinya, hanya orang-orang yang beriman yang bisa ‘naik pangkat’ menjadi dan dipanggil sebagai أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal). Dari sisi makna, أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal), ya, orang-orang yang beriman. Karena Allah sendiri yang berfirman: “...maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.” (65:10) Tetapi orang-orag yang beriman seperti apa? “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (39:9) Pantas kalau hanya أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albābi, orang-orang yang berakal) yang bisa memahami bahwa di dalam pelaksanaan hukum qishash itu ada jaminan akan keberlangsungan حَيَاةٌ (hayātun, kehidupan).

4). Apakah sudah benar manakala أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albāb) diartikan dengan “orang-orang yang berakal”? Ada benarnya tapi tidak sepenuhnya benar. Ada benarnya, karena أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albāb) memang adalah orang yang berakal. Tetapi tidak semua orang yang berakal pantas disebut أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albāb). Hanya orang berakal yang menggunakan akalnya dengan benar pada hirarki wujud kemudian menindaklanjuti fahaman akalnya itu dengan amalan nyata yang berhak menyandang predikat أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albāb). “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi أُولِيْ الأَلْبَابِ (ŭlil-albāb, orang-orang yang berakal). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (3:190-191) Itu sebabnya, di dalam terjemahan Bahasa Inggeris ayat ini, Yusuf Ali, Shakir, dan Pickthal sama-sama mengartikannya dengan “men of understanding” (orang yang memahami). Istilah qishash berasal dari kata qashsha yang berarti “to cut, divide and differentiate” (memotong, membagi, dan membedakan). Sejatinya, orang yang berakal ialah orang yang bisa memotong, membagi, dan membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang makruf dan mangkar, antara Khalifah Duniawi dan Khalifah Ilahi. Hukum qishash bermakna memotong atau mengamputasi person-person yang mengganggu kelangsungan hidup yang tenang dan damai. Kehidupan yang membawa anak-anaknya kepada kebenaran. Sehingga, harapannya, semua individu di dalam masyarakat “bergerak menuju ke puncak hirarki wujud”: bertakwa. “Katakanlah: ‘Tidak sama (antara) yang buruk dan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan’.” (5:100)

5). Penempatan frase لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (la’allakum tattaqŭn, supaya kalian bertakwa!) di akhir ayat menjelaskan adanya kesatuan makna antara hukum qishash dan puasa ramadhan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, supaya kalian bertakwa!” (2:183) Maknanya, tujuan hukum qishash sama dengan tujuan puasa ramadhan. Sama-sama bermuara kepada “takwa”. Kalau puasa membebaskan orang per orang dari sifat ammarah (yang didorong oleh nafsu hewani), maka hukum qishash membebaskan masyarakat dari pemilik sifat ammarah. Hukum qishash dan ibadah puasa, keduanya membawa manusia ke dalam naungan rahmat Allah. “Dan (kata Yusuf) aku tidak (sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafs (jiwa hewani) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafs (jiwa ilahi) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (12:53)


ASBABUNNUZUL
SURAT AL BAQARAH AYAT 178
Hadits Nabi saw:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ أُخْتَ الرُّبَيِّعِ أُمَّ حَارِثَةَ جَرَحَتْ إِنْسَانًا فَاخْتَصَمُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِصَاصَ الْقِصَاصَ فَقَالَتْ أُمُّ الرَّبِيعِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُقْتَصُّ مِنْ فُلَانَةَ وَاللَّهِ لَا يُقْتَصُّ مِنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أُمَّ الرَّبِيعِ الْقِصَاصُ كِتَابُ اللَّهِ قَالَتْ لَا وَاللَّهِ لَا يُقْتَصُّ مِنْهَا أَبَدًا قَالَ فَمَا زَالَتْ حَتَّى قَبِلُوا الدِّيَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
 ARTINYA:
[Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Affan bin Muslim telah menceritakan kepada kami Hammad telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Anas, bahwa saudara perempuan Rubai', ibunya Haritsah, pernah melukai seseorang. Lalu semua keluarganya pergi mengadukan hal itu kepada Nabi saw, lantas Rasulullah saw pun bersabda: "Laksanakanlah hukum qishash, laksanakanlah hukum qishash." Tetapi Ummu Rubayyi' merasa keberatan dengan hukuman ini seraya berkata: "Ya Rasulullah, apakah anda akan menjatuhkan hukuman qishash terhadap fulanah? Demi Allah, janganlah anda menjatuhkan hukuman qishash terhadapanya." Kemudian Nabi saw bersabda: "Subhanallah wahai Ummu Rubayyi', bukankah hukuman qishash itu sudah merupakan suatu ketentuan dari Allah?" Ummu Rubayi' menjawab: "Demi Allah wahai Rasulullah, janganlah dia dijatuhi hukuman qishah untuk selama-lamanya." Sementara itu, Ummu Rubayyi' terus mendesak, sampai pihak keluarga kurban mau menerima diyat. Akhirnya Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada orang yang apabila bersumpah atas nama Allah, maka dia akan berbuat baik kepada-Nya."] (Shahih Muslim no. 3174)

ASBABUNNUZUL
SURAT ALBAQARAH AYAT 179
Hadits Nabi saw.:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَعِيدٍ الْخُزَاعِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسًا قَالَ ح و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ حَدَّثَنَا زِيَادٌ قَالَ حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ الطَّوِيلُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
غَابَ عَمِّي أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ غِبْتُ عَنْ أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ الْمُشْرِكِينَ لَئِنْ اللَّهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ الْمُشْرِكِينَ لَيَرَيَنَّ اللَّهُ مَا أَصْنَعُ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ وَانْكَشَفَ الْمُسْلِمُونَ قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ يَعْنِي أَصْحَابَهُ وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلَاءِ يَعْنِي الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا سَعْدُ بْنَ مُعَاذٍ الْجَنَّةَ وَرَبِّ النَّضْرِ إِنِّي أَجِدُ رِيحَهَا مِنْ دُونِ أُحُدٍ قَالَ سَعْدٌ فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا صَنَعَ قَالَ أَنَسٌ فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِينَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَقَدْ مَثَّلَ بِهِ الْمُشْرِكُونَ فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ إِلَّا أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ قَالَ أَنَسٌ كُنَّا نُرَى أَوْ نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِيهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ
{ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ }
إِلَى آخِرِ الْآيَةِ وَقَالَ إِنَّ أُخْتَهُ وَهِيَ تُسَمَّى الرُّبَيِّعَ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ امْرَأَةٍ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا فَرَضُوا بِالْأَرْشِ وَتَرَكُوا الْقِصَاصَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ
[Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Sa'id al-Khuza'iy telah bercerita kepada kami Abdul A'laa dari Humaid berkata; Aku bertanya kepada Anas. Dia berkata; dn diriwayatkan pula, telah bercerita kepada kami Amru bin Zurarah telah bercerita kepada kami Ziyad berkata telah bercerita kepadaku Humaid ath-Thowil dari Anas ra berkata: "Pamanku, Anas bin an-Nadhar tidak ikut Perang Badar kemudian dia berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak ikut saat pertama kali Tuan berperang menghadapai kaum musyrikin. Seandainya Allah memperkenankan aku dapat berperang melawan kaum musyrikin, pasti Allah akan melihat apa yang akan aku lakukan’. Ketika terjadi perang Uhud dan Kaum Muslimin ada yang kabur dari medan pertempuran, dia berkata: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari apa yang dilakukan oleh mereka, yakni para sahabat Nabi saw (yang lari dari medan perang), dan aku berlepas diri dari apa yang dilakukan oleh mereka yakni kaum musyrikin’. Maka dia maju ke medan pertempuran lalu Sa'ad bin Mu'adz menjumpainya. Maka dia berkata kepadanya: ‘Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Robbnya an-Nadhar, aku menginginkan surga. Sungguh aku mencium baunya dari balik bukit Uhud ini’. Sa'ad berkata: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak sanggup untuk menggambarkan apa yang dialaminya’. Anas berkata: "Kemudian kami temukan dia dengan luka tidak kurang dari delapan puluh sabetan pedang atau tikaman tombak atau terkena lemparan panah dan kami menemukannya sudah dalam keadaan terbunuh dimana kaum musyrikin telah mencabik-cabik jasadnya sehingga tidak ada satupun orang yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya". Anas berkata: "Kami mengira atau berpedapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dia dan orang yang serupa dengan dia. ("Dan diantara Kaum Mu'minin ada orang-orang yang membuktikan janji mereka kepada Allah") sampai akhir ayat QS. al-Ahzab ayat 23. Dan Anas berkata: "Bahwa saudaranya yang dipangil dengan ar-Rubbai' pernah memecahkan gigi seri seorang wanita lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar dilaksanakan hukum balas (qishosh). Maka Anas berkata; "Demi Dzat Yang mengutus Tuan dengan hak, janganlah dibalas dengan mematahkan gigi serinya". Akhirnya mereka setuju dengan pembayaran tembusan dan membatalkan qishosh. Maka Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada hamba yang bila bersumpah atas nama Allah pasti akan dilaksanakannya".] (Shahih Bukhari  no. 2595)

PENGERTIAN QISAS
قِصَاص merupakan isim masdar .Qisas (bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.
Secara global قِصَاص balasan kesalahan




HUKUM YANG TERKANDUNG DALAN SURAT AL-BAQRAH AYAT 178 dan 179

·         Di wajib kan bagi orang orang beriman untuk menjalankan hukum qisas bila ia melakukan pembunuhan.
ü  “orang merdeka dengan orang merdeka”
ü  “hamba dengan hamba  ”
ü  “perempuan(unsa) dengan perempuan (unsa)”
·         Apabila ahli waris mem’afkan perbuatan si maqtul (orang yang membunuh). maka wajib atas si maqtull mengeluarkan diat kepada ahli waris
·         Wajib di laksanaan Qisas terhadap si qatel ketika ia dalam keadaan hidup dan dalam keadaan ber’aqal

HIKMAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 178-179
Supaya umat manuasia bertaqwa kepada allah Dan untuk membuktikan bahwa hukum allah itu adil



HUKUM BEBERAPA MACAM MASALAH

o   Apa hukum nya orang merdheka membunuh seorang hamba / orang muslim membunuh dhimmi ?
o   Apa hukum nya orang tua membunuh anak nya ?
o   Apa hukum nya orang ramai membunuh orang, yang hanya berjumlah satu orang ( membunuh secara berjama’ah )?
o   Apa hukum nya membunuh janin ?
o   Siapakah yang berhak menegakkan hukum qisas ?



JAWABAN :

o   Orang merdheka membunuh hamba tidak wajib qisas tetapi wajib diat.
Karna syarat wajib qisas :
1.      Pembunuh sampai umur
2.      Pembunuh waras
3.      Pembunuh bukan ayah bagi yang di bunuh
4.      Yang di bunuh derajat nya tidak kurang dari yang membunuh, baik derajat nya kurang dari yang membunuh disebabkan oleh kekafiran nya maupun disebabkan oleh status nya sebagai budak

o   Orang muslim membunuh dzimmi wajib diat 1/3 diat orang islam

o   Orang yang membunuh seseorang secara berjama’ah dikenakan bagi mereka hokum qisas
Dengan syarat :
Andaikan orang ramai ini berpisah-pisah bias di katagorikan perbuatan mereka membunuh

o   Orang yang membunuh janin wajib atas nya membayar diat
yaitu : satu budak yang harga nya sampai 5% diat ibu nya

o   Orang yang berhak menegakkan hukum qisas adalah KHALIFAH / yang menjalankan pemerintahan






















DAFTAR PUSTAKA





















DAFTAR ISI

MENEGAKKAN QISAS UNTUK MENJAGA JIWA TINJAUAN TERHADAP SURAT AL-BAQARAH AYAT 178-179
KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI 11
SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178 1
TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH  Ayat 178 1
SURAT AL-BAQARAH Ayat 179 4
TAFSIR KATA KATA SURAT AL-BAQARAH Ayat 179 5
ASBABUNNUZUL SURAT AL BAQARAH AYAT 178 7
ASBABUNNUZUL SURAT ALBAQARAH AYAT 179 8
PENGERTIAN QISAS 10
HUKUM YANG TERKANDUNG DALAN SURAT AL-BAQRAH AYAT 178 dan 179 11
HIKMAH SURAT AL-BAQARAH AYAT 178-179 11
HUKUM BEBERAPA MACAM MASALAH 11
DFTAR PUSTAKA 13





Tidak ada komentar:

Posting Komentar